Jumat, 18 April 2014

Vagina Rapet Tetanggaku

Sudah

bertahun-tahun kegiatan ronda malam di lingkungan tempat tinggalku

berjalan dengan baik. Setiap malam ada satu grup terdiri dari tiga

orang. Sebagai anak muda yang sudah bekerja aku dapat giliran ronda pada

malam minggu.


Pada

suatu malam minggu aku giliran ronda. Tetapi sampai pukul 23.00 dua

orang temanku tidak muncul di pos perondaan. Aku tidak peduli mau datang

apa tidak, karena aku maklum tugas ronda adalah sukarela, sehingga

tidak baik untuk dipaksa-paksa. Biarlah aku ronda sendiri tidak ada

masalah.


Karena

memang belum mengantuk, aku jalan-jalan mengontrol kampung. Biasanya

kami mengelilingi rumah-rumah penduduk. Pada waktu sampai di samping

rumah Pak Tadi, aku melihat kaca nako yang belum tertutup. Aku mendekati

untuk melihat apakah kaca nako itu kelupaan ditutup atau ada orang

jahat yang membukanya. Dengan hati-hati kudekati, tetapi ternyata kain

korden tertutup rapi. Kupikir kemarin sore pasti lupa menutup kaca nako,

tetapi langsung menutup kain kordennya saja. Mendadak aku mendengar

suara aneh, seperti desahan seseorang. Kupasang telinga baik-baik,

ternyata suara itu datang dari dalam kamar. Kudekati pelan-pelan, dan

darahku berdesir, ketika ternyata itu suara orang bersetubuh. Nampaknya

ini kamar tidur Pak Tadi dan istrinya. Aku lebih mendekat lagi, suaranya

dengusan nafas yang memburu dan gemerisik dan goyangan tempat tidur

lebih jelas terdengar. "Ssshh... hhemm... uughh... ugghh, terdengar

suara dengusan dan suara orang seperti menahan sesuatu. Jelas itu suara

Bu Tadi yang ditindih suaminya. Terdengar pula bunyi kecepak-kecepok,

nampaknya penis Pak Tadi sedang mengocok liang vagina Bu Tadi. Aduuh,

darahku naik ke kepala, penisku sudah berdiri keras seperti kayu. Aku

betul-betul iri membayangkan Pak Tadi menggumuli istrinya. Alangkah

nikmatnya menyetubuhi Bu Tadi yang cantik dan bahenol itu.


"Oohh,

sshh buuu, aku mau keluar, sshh.... ssshh.." terdengar suara Pak Tadi

tersengal-sengal. Suara kecepak-kecepok makin cepat, dan kemudian

berhenti. Nampaknya Pak Tadi sudah ejakulasi dan pasti penisnya

dibenamkan dalam-dalam ke dalam vagina Bu Tadi. Selesailah sudah

persetubuhan itu, aku pelan-pelan meninggalkan tempat itu dengan kepala

berdenyut-denyut dan penis yang kemeng karena tegang dari tadi.


Sejak

malam itu, aku jadi sering mengendap-endap mengintip kegiatan

suami-istri itu di tempat tidurnya. Walaupun nako tidak terbuka lagi,

namun suaranya masih jelas terdengar dari sela-sela kaca nako yang tidak

rapat benar. Aku jadi seperti detektip partikelir yang mengamati

kegiatan mereka di sore hari. Biasanya pukul 21.00 mereka masih melihat

siaran TV, dan sesudah itu mereka mematikan lampu dan masuk ke kamar

tidurnya. Aku mulai melihat situasi apakah aman untuk mengintip mereka.

Apabila aman, aku akan mendekati kamar mereka. Kadang-kadang mereka

hanya bercakap-cakap sebentar, terdengar bunyi gemerisik (barangkali

memasang selimut), lalu sepi. Pasti mereka terus tidur. Tetapi apabila

mereka masuk kamar, bercakap-cakap, terdengar ketawa-ketawa kecil

mereka, jeritan lirih Bu Tadi yang kegelian (barangkali dia digelitik,

dicubit atau diremas buah dadanya oleh Pak Tadi), dapat dipastikan akan

diteruskan dengan persetubuhan. Dan aku pasti mendengarkan sampai

selesai. Rasanya seperti kecanduan dengan suara-suara Pak Tadi dan

khususnya suara Bu Tadi yang keenakan disetubuhi suaminya.


Hari-hari

selanjutnya berjalan seperti biasa. Apabila aku bertemu Bu Tadi juga

biasa-biasa saja, namun tidak dapat dipungkiri, aku jadi jatuh cinta

sama istri Pak Tadi itu. Orangnya memang cantik, dan badannya padat

berisi sesuai dengan seleraku. Khususnya pantat dan buah dadanya yang

besar dan bagus. Aku menyadari bahwa hal itu tidak akan mungkin, karena

Bu tadi istri orang. Kalau aku berani menggoda Bu Tadi pasti jadi

masalah besar di kampungku. Bisa-bisa aku dipukuli atau diusir dari

kampungku. Tetapi nasib orang tidak ada yang tahu. Ternyata aku akhirnya

dapat menikmati keindahan tubuh Bu Tadi.


Pada

suatu hari aku mendengar Pak Tadi opname di rumah sakit, katanya

operasi usus buntu. Sebagai tetangga dan masih bujangan aku banyak waktu

untuk menengoknya di rumah sakit. Dan yang penting aku mencoba

membangun hubungan yang lebih akrab dengan Bu Tadi. Pada suatu sore, aku

menengok di rumah sakit bersamaan dengan adiknya Pak Tadi. Sore itu,

mereka sepakat Bu Tadi akan digantikan adiknya menunggu di rumah sakit,

karena Bu Tadi sudah beberapa hari tidak pulang. Aku menawarkan diri

untuk pulang bersamaku. Mereka setuju saja dan malah berterima kasih.

Terus terang kami sudah menjalin hubungan lebih akrab dengan keluarga

itu.


Sehabis

mahgrib aku bersama Bu Tadi pulang. Dalam mobilku kami mulai mengobrol,

mengenai sakitnya Pak Tadi. Katanya seminggu lagi sudah boleh pulang.

Aku mulai mencoba untuk berbicara lebih dekat lagi, atau katakanlah

lebih kurang ajar. Inikan kesempatan bagus sekali untuk mendekatai Bu

Tadi.

"Bu, maaf yaa. ngomong-ngomong Bu Tadi sudah berkeluarga sekitar 3 tahun kok belum diberi momongan yaa", kataku hati-hati.

"Ya, itulah Dik Budi. Kami kan hanya lakoni. Barangkali Tuhan belum mengizinkan", jawab Bu Tadi.

"Tapi anu tho bu... anuu.. bikinnya khan jalan terus." godaku.

"Ooh

apa, ooh. kalau itu sih iiiya Dik Budi" jawab Bu Tadi agak kikuk.

Sebenarnya kan aku tahu, mereka setiap minggunya minmal 2 kali

bersetubuh dan terbayang kembali desahan Bu Tadi yang keenakan. Darahku

semakin berdesir-desir. Aku semakin nekad saja.

"Tapi, kok belum berhasil juga yaa bu?" lanjutku.

"Ya,

itulah, kami berusaha terus. Tapi ngomong-ngomong kapan Dik Budi

kimpoi. Sudah kerja, sudah punya mobil, cakep lagi. Cepetan dong. Nanti

keburu tua lhoo", kata Bu Tadi.

"Eeh,

benar nih Bu Tadi. Aku cakep niih. Ah kebetulan, tolong carikan aku Bu.

Tolong carikan yang kayak Ibu Tadi ini lhoo", kataku menggodanya.

"Lho, kok hanya kayak saya. Yang lain yang lebih cakep kan banyak. Saya khan sudah tua, jelek lagi", katanya sambil ketawa.

Aku harus dapat memanfaatkan situasi. Harus, Bu tadi harus aku dapatkan.

"Eeh,

Bu Tadi. Kita kan nggak usah buru-buru nih. Di rumah Bu Tadi juga

kosong. Kita cari makan dulu yaa. Mauu yaa bu, mau yaa", ajakku dengan

penuh kekhawatiran jangan-jangan dia menolak.

"Tapi nanti kemaleman lo Dik", jawabnya.

"Aah, baru jam tujuh. Mau ya Buu", aku sedikit memaksa.

"Yaa gimana yaa... ya deh terserah Dik Budi. Tapi nggak malam-malam lho." Bu Tadi setuju. Batinku bersorak.


Kami berehenti di warung bakmi yang terkenal. Sambil makan kami terus mengobrol. Jeratku semakin aku persempit.

"Eeh,

aku benar-benar tolong dicarikan istri yang kayak Bu Tadi dong Bu.

benar nih. Soalnya begini bu, tapii eeh nanti Bu Tadi marah sama saya.

Nggak usaah aku katakan saja deh", kubuat Bu Tadi penasaran.

"Emangnya kenapa siih." Bu tadi memandangku penuh tanda tanya.

"Tapi janji nggak marah lho." kataku memancing. Dia mengangguk kecil.

"Anu bu... tapi janji tidak marah lho yaa."

"Bu

Tadi terus terang aku terobsesi punya istri seperti Bu tadi. Aku

benar-benar bingung dan seperti orang gila kalau memikirkan Bu Tadi. Aku

menyadari ini nggak betul. Bu Tadi kan istri tetanggaku yang harus aku

hormati. Aduuh, maaf, maaf sekali bu. aku sudah kurang ajar sekali",

kataku menghiba. Bu Tadi melongo, memandangiku. sendoknya tidak terasa

jatuh di piring. Bunyinya mengagetkan dia, dia tersipu-sipu, tidak

berani memandangiku lagi.


Sampai

selesai kami jadi berdiam-diaman. Kami berangkat pulang. Dalam mobil

aku berpikir, ini sudah telanjur basah. Katanya laki-laki harus nekad

untuk menaklukkan wanita. Nekad kupegang tangannya dengan tangan kiriku,

sementara tangan kananku memegang setir. Di luar dugaanku, Bu Tadi

balas meremas tanganku. Batinku bersorak. Aku tersenyum penuh

kemenangan. Tidak ada kata-kata, batin kami, perasaan kami telah

bertaut. Pikiranku melambung, melayang-layang. Mendadak ada sepeda motor

menyalib mobilku. Aku kaget.

"Awaas! hati-hati!" Bu Tadi menjerit kaget.

"Aduh nyalib kok nekad amat siih", gerutuku.

"Makanya

kalau nyetir jangan macam-macam", kata Bu tadi. Kami tertawa. Kami

tidak membisu lagi, kami ngomong, ngomong apa saja. Kebekuan cair sudah.

Sampai di rumah aku hanya sampai pintu masuk, aku lalu pamit pulang.


Di

rumah aku mencoba untuk tidur. Tidak bisa. Nonton siaran TV, tidak

nyaman juga. Aku terus membayangkan Bu Tadi yang sekarang sendirian,

hanya ditemani pembantunya yang tua di kamar belakang. Ada dorongan

sangat kuat untuk mendatangi rumah Bu Tadi. Berani nggaak, berani nggak.

Mengapa nggak berani. Entah setan mana yang mendorongku, tahu-tahu aku

sudah keluar rumah. Aku mendatangi kamar Bu Tadi. Dengan berdebar-debar,

aku ketok pelan-pelan kaca nakonya, "Buu Tadi, aku Budi", kataku lirih.

Terdengar gemerisik tempat tidur, lalu sepi. Mungkin Bu Tadi bangun dan

takut. Bisa juga mengira aku maling. "Aku Budi", kataku lirih.

Terdengar gemerisik. Kain korden terbuka sedikit. Nako terbuka sedikit.

"Lewat belakang!" kata Bu Tadi. Aku menuju ke belakang ke pintu dapur.

Pintu terbuka, aku masuk, pintu tertutup kembali. Aku nggak tahan lagi,

Bu Tadi aku peluk erat-erat, kuciumi pipinya, hidungnya, bibirnya dengan

lembut dan mesra, penuh kerinduan. Bu Tadi membalas memelukku, wajahnya

disusupkan ke dadaku.


"Aku nggak bisa tidur", bisikku.

"Aku juga", katanya sambil memelukku erat-erat.

Dia

melepaskan pelukannya. Aku dibimbingnya masuk ke kamar tidurnya. Kami

berpelukan lagi, berciuman lagi dengan lebih bernafsu. "Buu, aku kangen

bangeeet. Aku kangen", bisikku sambil terus menciumi dan membelai

punggungnya. Nafsu kami semakin menggelora. Aku ditariknya ke tempat

tidur. Bu Tadi membaringkan dirinya. Tanganku menyusup ke buah dadanya

yang besar dan empuk, aduuh nikmat sekali, kuelus buah dadanya dengan

lembut, kuremas pelan-pelan. Bu Tadi menyingkapkan dasternya ke atas,

dia tidak memakai BH. Aduh buah dadanya kelihatan putih dan menggung.

Aku nggak tahan lagi, kuciumi, kukulum pentilnya, kubenamkan wajahku di

kedua buah dadanya, sampai aku nggak bisa bernapas. Sementara tanganku

merogoh kemaluannya yang berbulu tebal. Celana dalamnya kupelorotkan,

dan Bu Tadi meneruskan ke bawah sampai terlepas dari kakinya. Dengan

sigap aku melepaskan sarung dan celana dalamku. Penisku langsung tegang

tegak menantang. Bu Tadi segera menggenggamnya dan dikocok-kocok pelan

dari ujung penisku ke pangkal pahaku. Aduuh, rasanya geli dan nikmat

sekali. Aku sudah nggak sabar lagi. Aku naiki tubuh Bu Tadi, bertelekan

pada sikut dan dengkulku.


Kaki

Bu Tadi dikangkangkannya lebar-lebar, penisku dibimbingnya masuk ke

liang vaginanya yang sudah basah. Digesek-gesekannya di bibir

kemaluannya, makin lama semakin basah, kepala penisku masuk, semakin

dalam, semakin... dan akhirnya blees, masuk semuanya ke dalam kemaluan

Bu Tadi. Aku turun-naik pelan-pelan dengan teratur. Aduuh, nikmat

sekali. Penisku dijepit kemaluan Bu Tadi yang sempit dan licin. Makin

cepat kucoblos, keluar-masuk, turun-naik dengan penuh nafsu. "Aduuh, Dik

Budi, Dik Budii... enaak sekali, yang cepaat.. teruus", bisik Bu Tadi

sambil mendesis-desis. Kupercepat lagi. Suaranya vagina Bu Tadi

kecepak-kecepok, menambah semangatku. "Dik Budiii aku mau muncaak...

muncaak, teruus... teruus", Aku juga sudah mau keluar. Aku percepat, dan

penisku merasa akan keluar. Kubenamkan dalam-dalam ke dalam vagina Bu

Tadi sampai amblaas. Pangkal penisku berdenyut-denyut, spermaku

muncrat-muncrat di dalam vagina Bu Tadi. Kami berangkulan kuat-kuat,

napas kami berhenti. Saking nikmatnya dalam beberapa detik nyawaku

melayang entah kemana. Selesailah sudah. Kerinduanku tercurah sudah, aku

merasa lemas sekali tetapi puas sekali.


Kucabut

penisku, dan berbaring di sisinya. Kami berpelukan, mengatur napas

kami. Tiada kata-kata yang terucapkan, ciuman dan belaian kami yang

berbicara.

"Dik

Budi, aku curiga, salah satu dari kami mandul. Kalau aku subur, aku

harap aku bisa hamil dari spermamu. Nanti kalau jadi aku kasih tahu.

Yang tahu bapaknya anakku kan hanya aku sendiri kan. Dengan siapa aku

membuat anak", katanya sambil mencubitku. Malam itu pertama kali aku

menyetubuhi Bu Tadi tetanggaku. Beberapa kali kami berhubungan sampai

aku kimpoi dengan wanita lain. Bu Tadi walaupun cemburu tapi dapat

memakluminya.


Keluarga

Pak tadi sampai saat ini hanya mempunyai satu anak perempuan yang

cantik. Apabila di kedepankan, Bu Tadi sering menciumi anak itu,

sementara matanya melirikku dan tersenyum-senyum manis. Tetanggaku pada

meledek Bu Tadi, mungkin waktu hamil Bu Tadi benci sekali sama aku.

Karena anaknya yang cantik itu mempunyai mata, pipi, hidung, dan bibir

yang persis seperti mata, pipi, hidung, dan bibirku.


Seperti

telah anda ketahui hubunganku dengan Bu Tadi istri tetanggaku yang

cantik itu tetap berlanjut sampai kini, walaupun aku telah berumah

tangga. Namun dalam perkimpoianku yang sudah berjalan dua tahun lebih,

kami belum dikaruniai anak. Istriku tidak hamil-hamil juga walaupun

penisku kutojoskan ke vagina istriku siang malam dengan penuh semangat.

Kebetulan istriku juga mempunyai nafsu seks yang besar. Baru disentuh

saja nafsunya sudah naik. Biasanya dia lalu melorotkan celana dalamnya,

menyingkap pakaian serta mengangkangkan pahanya agar vaginanya yang

tebal bulunya itu segera digarap. Di mana saja, di kursi tamu, di dapur,

di kamar mandi, apalagi di tempat tidur, kalau sudah nafsu, ya aku

masukkan saja penisku ke vaginanya. Istriku juga dengan penuh gairah

menerima coblosanku. Aku sendiri terus terang setiap saat melihat

istriku selalu nafsu saja deh. Memang istriku benar-benar membuat

hidupku penuh semangat dan gairah.


Tetapi

karena istriku tidak hamil-hamil juga aku jadi agak kawatir. Kalau

mandul, jelas aku tidak. Karena sudah terbukti Bu Tadi hamil, dan anakku

yang cantik itu sekarang menjadi anak kesayangan keluarga Pak Tadi.

Apakah istriku yang mandul? Kalau melihat fisik serta haidnya yang

teratur, aku yakin istriku subur juga. Apakah aku kena hukuman karena

aku selingkuh dengan Bu Tadi? aah, mosok. Nggak mungkin itu. Apakah

karena dosa? Waah, mestinya ya memang dosa besar. Tapi karena

menyetubuhi Bu Tadi itu enak dan nikmat, apalagi dia juga senang, maka

hubungan gelap itu perlu diteruskan, dipelihara, dan dilestarikan.


Untuk

mengatur perselingkuhanku dengan Bu Tadi, kami sepakat dengan membuat

kode khusus yang hanya diketahui kami berdua. Apabila Pak Tadi tidak ada

di rumah dan benar-benar aman, Bu Tadi memadamkan lampu di sumur

belakang rumahnya. Biasanya lampu 5 watt itu menyala sepanjang malam,

namun kalau pada pukul 20.00 lampu itu padam, berarti keadaan aman dan

aku dapat mengunjungi Bu Tadi. (Anda dapat meniru caraku yang sederhana

ini. Gratis tanpa bayar pulsa telepon yang makin mahal). Karena dari

samping rumahku dapat terlihat belakang rumah Bu Tadi, dengan mudah aku

dapat menangkap tanda tersebut. Tetapi pernah tanda itu tidak ada sampai

1 atau 2 bulan, bahkan 3 bulan. Aku kadang-kadang jadi agak jengkel dan

frustasi (karena kangen) dan aku mengira juga Bu Tadi sudah bosan

denganku. Tetapi ternyata memang kesempatan itu benar-benar tidak ada,

sehingga tidak aman untuk bertemu.


Pada

suatu hari aku berpapasan dengan Bu Tadi di jalan dan seperti biasanya

kami saling menyapa baik-baik. Sebelum melanjutkan perjalanannya, dia

berkata, "Dik Budi, besok malam minggu ada keperluan nggak?"

"Kayaknya

sih nggak ada acara kemana-mana. Emangnya ada apa?" jawabku dengan

penuh harapan karena sudah hampir satu bulan kami tidak bermesraan.

"Nanti ke rumah yaa!" katanya dengan tersenyum malu-malu.

"Emangnya

Pak Tadi nggak ada?" kataku. Dia tidak menjawab, cuma tersenyum manis

dan pergi meneruskan perjalanannya. Walaupun sudah biasa, darahku pun

berdesir juga membayangkan pertemuanku malam minggu nanti.


Seperti

biasa malam minggu adalah giliran ronda malamku. Istriku sudah tahu

itu, sehingga tidak menaruh curiga atau bertanya apa-apa kalau pergi

keluar malam itu. Aku sudah bersiap untuk menemui Bu Tadi. Aku hanya

memakai sarung, (tidak memakai celana dalam) dan kaos lengan panjang

biar agak hangat. Dan memang kalau tidur aku tidak pernah pakai celana

dalam tetapi hanya memakai sarung saja. Rasanya lebih rileks dan tidak

sumpek, serta penisnya biar mendapat udara yang cukup setelah seharian

dipepes dalam celana dalam yang ketat.


Waktu

menunjukkan pukul 22.00. Lampu belakang rumah Bu Tadi sudah padam dari

tadi. Aku berjalan memutar dulu untuk melihat situasi apakah sudah

benar-benar sepi dan aman. Setelah yakin aman, aku menuju ke samping

rumah Bu Tadi. Aku ketok kaca nako kamarnya. Tanpa menunggu jawaban, aku

langsung menuju ke pintu belakang. Tidak berapa lama terdengar kunci

dibuka. Pelan pintu terbuka dan aku masuk ke dalam. Pintu ditutup

kembali. Aku berjalan beriringan mengikuti Bu Tadi masuk ke kamar

tidurnya. Setelah pintu ditutup kembali, kami langsung berpelukan dan

berciuman untuk menyalurkan kerinduan kami. Kami sangat menikmati

kemesraan itu, karena memang sudah hampir satu bulan kami tidak

mempunyai kesempatan untuk melakukannya. Setelah itu, Bu Tadi

mendorongku, tangannya di pinggangku, dan tanganku berada di pundaknya.

Kami berpandangan mesra, Bu tadi tersenyum manis dan memelukku kembali

erat-erat. Kepalanya disandarkan di dadaku.


"Paa,

sudah lama kita nggak begini", katanya lirih. Bu Tadi sekarang kalau

sedang bermesraan atau bersetubuh memanggilku Papa. Demikian juga aku

selalu membisikkan dan menyebutnya Mama kepadanya. Nampaknya Bu Tadi

menghayati betul bahwa Nia, anaknya yang cantik itu bikinan kami berdua.

"Pak Tadi sedang kemana sih maa", tanyaku.

"Sedang

mengikuti piknik karyawan ke Pangandaran. Aku sengaja nggak ikut dan

hanya Nia saja yang ikut. Tenang saja, pulangnya baru besok sore",

katanya sambil terus mendekapku.

"Maa, aku mau ngomong nih", kataku sambil duduk bersanding di tempat tidur. Bu Tadi diam saja dan memandangku penuh tanda tanya.

"Maa,

sudah dua tahun lebih aku berumah tangga, tetapi istriku belum

hamil-hamil juga. Kamu tahu, mustinya secara fisik, kami tidak ada

masalah. Aku jelas bisa bikin anak, buktinya sudah ada kan. Aku nggak

tahu kenapa kok belum jadi juga. Padahal bikinnya tidak pernah berhenti,

siang malam", kataku agak melucu. Bu Tadi memandangku.

"Pa,

aku harus berbuat apa untuk membantumu. Kalau aku hamil lagi, aku yakin

suamiku tidak akan mengijinkan adiknya Nia kamu minta menjadi anak

angkatmu. Toh anak kami kan baru dua orang nantinya, dan pasti suamiku

akan sayang sekali. Untukku sih memang seharusnya bapaknya sendiri yang

mengurusnya. Tidak seperti sekarang, keenakan dia. Cuma bikin doang,

giliran sudah jadi bocah orang lain dong yang ngurus", katanya sambil

merenggut manja. Aku tersenyum kecut.

"Jangan-jangan ini hukuman buatku ya maa, Aku dihukum tidak punya anak sendiri. Biar tahu rasa", kataku.

"Ya

sabar dulu deh paa, mungkin belum pas saja. Spermamu belum pas ketemu

sama telornya Rina (nama istriku). Siapa tahu bulan depan berhasil",

katanya menghiburku.

"Ya mudah-mudahan. Tolong didoain yaa..."

"Enak

saja. Didoain? Mustinya aku kan nggak rela Papa menyetubuhi Rina

istrimu itu. Mustinya Papa kan punyaku sendiri, aku monopoli. Nggak

boleh punya Papa masuk ke perempuan lain kan. Kok malah minta didoain.

Gimana siih", katanya manja dan sambil memelukku erat-erat. Benar juga,

mestinya kami ini jadi suami-istri, dan Nia itu anak kami.

"Maa,

kalau kita ngomong-ngomong seperti ini, jadinya nafsunya malah jadi

menurun lho. Jangan-jangan nggak jadi main nih", kataku menggoda.

"Iiih, dasar", katanya sambil mencubit pahaku kuat-kuat.

"Makanya jangan ngomong saja. Segera saja Mama ini diperlakukan sebagaimana mestinya. Segera digarap doong!" katanya manja.


Kami

berpelukan dan berciuman lagi. Tentu saja kami tidak puas hanya

berciuman dan berpelukan saja. Kutidurkan dia di tempat tidur,

kutelentangkan. Bu Tadi mandah saja. Pasrah saja mau diapain. Dia

memakai daster dengan kancing yang berderet dari atas ke bawah. Kubuka

kancing dasternya satu per satu mulai dari dada terus ke bawah.

Kusibakkan ke kanan dan ke kiri bajunya yang sudah lepas kancingnya itu.

Menyembullah buah dadanya yang putih menggunung (dia sudah tidak pakai

BH). Celana dalam warna putih yang menutupi vaginanya yang nyempluk itu

aku pelorotkan. Aku benar-benar menikmati keindahan tubuh istri gelapku

ini. Saat satu kakinya ditekuk untuk melepaskan celana dalamnya, gerakan

kakinya yang indah, vaginanya yang agak terbuka, aduh pemandangan itu

sungguh indah. Benar-benar membuatku menelan ludah. Wajah yang ayu, buah

dada yang putih menggunung, perut yang langsing, vagina yang nyempluk

dan agak terbuka, kaki yang indah agak mengangkang, sungguh mempesona.

Aku tidak tahan lagi. Aku lempar sarungku dan kaosku entah jatuh dimana.

Aku segera naik di atas tubuh Bu Tadi. Kugumuli dia dengan penuh nafsu.

Aku tidak peduli Bu Tadi megap-megap keberatan aku tindih sepenuhnya.

Habis gemes banget, nafsu banget sih.

"Uugh jangan nekad tho. Berat nih", keluh Bu Tadi.

Aku

bertelekan pada telapak tanganku dan dengkulku. Penisku yang sudah

tegang banget aku paskan ke vaginanya. Terampil tangan Bu Tadi

memegangnya dan dituntunnya ke lubang vaginanya yang sudah basah. Tidak

ada kesulitan lagi, masuklah semuanya ke dalam vaginanya. Dengan penuh

semangat kukocok vagina Bu Tadi dengan penisku. Bu Tadi semakin naik,

menggeliat dan merangkulku, melenguh dan merintih. Semakin lama semakin

cepat, semakin naik, naik, naik ke puncak.

"Teruuus, teruus paa.. sshh... ssh..." bisik Bu Tadi

"Maa, aku juga sudah mau... keluaarr",

"Yang

dalam paa... yang dalamm. Keluarin di dalaam Paa... Paa... Adduuh Paa

nikmat banget Paa..., ouuch..", jeritnya lirih yang merangkulku

kuat-kuat. Kutekan dalam-dalam penisku ke vaginanyanya. Croot, cruuut,

crruut, keluarlah spermaku di dalam rahim istri gelapku ini. Napasku

seperti terputus. Kenikmatan luar biasa menjalar kesuluruh tubuhku. Bu

Tadi menggigit pundakku. Dia juga sudah mencapai puncak. Beberapa detik

dia aku tindih dan dia merangkul kuat-kuat. Akhirnya rangkulannya

terlepas. Kuangkat tubuhku. Penisku masih di dalam, aku gerakkan

pelan-pelan, aduh geli dan ngilu sekali sampai tulang sumsum. Vaginanya

licin sekali penuh spermaku. Kucabut penisku dan aku terguling di

samping Bu Tadi. Bu Tadi miring menghadapku dan tangannya diletakkan di

atas perutku. Dia berbisik, "Paa, Nia sudah cukup besar untuk punya

adik. Mudah-mudahan kali ini langsung jadi ya paa. Aku ingin dia seorang

laki-laki. Sebelum Papa tadi mengeluh Rina belum hamil, aku memang

sudah berniat untuk membuatkan Nia seorang adik. Sekalian untuk test

apakah Papa masih joos apa tidak. Kalau aku hamil lagi berarti Papa

masih joosss. Kalau nanti pengin menggendong anak, ya gendong saja Nia

sama adiknya yang baru saja dibuat ini." Dia tersenyum manis. Aku diam

saja. menerawang jauh, alangkah nikmatnya bisa menggendong anak-anakku.


Malam

itu aku bersetubuh lagi. Sungguh penuh cinta kasih, penuh kemesraan.

Kami tuntaskan kerinduan dan cinta kasih kami malam itu. Dan aku

menunggu dengan harap-harap cemas, jadikah anakku yang kedua di rahim

istri gelapku ini? Salam.

1 komentar: